Baru-baru ini pemerintah mengubah kebijakan dalam melakukan impor bahan baku pakan ternak (jagung) salah satu yang dirubah adalah pemerintah tidak melibatkan swasta dalam teknis penentuan rekomendasi impor, tetapi mengalihkan ke perguruan tinggi
Demikian salah satu poin penting dalam draf Peraturan Menteri (Permentan) tentang Pemasukan dan Pengeluaran Bahan Pakan Asal Tumbuhan ke dan dari Negara Kesatuan RI
Poin penting dalam draf permentan yang baru, yaitu izin impor bahan baku pakan asal tumbuhan, termasuk jagung dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan setelah mendapat rekomendasi pemasukan (RP) dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan.
Dalam menyusun RP, Ditjen Peternakan dan Kesehatan hewan Kementan yang mewakili Menteri Pertanian terlebih dulu menerima masukan dari tim analisis kebutuhan yang anggotanya terdiri dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Ditjen Tanaman Pangan Kementan, Ditjen Perkebunan Kementan, Ditjen Hortikultura Kementan, Badan Karantina Pertanian Kementan dan perguruan tinggi.
"Industri pakan dan peternak sebagai konsumen tidak dilibatkan," kata Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Sudirman. GPMT tengah menyusun berbagai usulan terkait Permentan itu agar kebijakan itu benar-benar bermanfaat bagi industri peternakan dan petani.
Menurut Sudirman, pada Oktober 2015, realisasi impor jagung untuk industri pakan ternak 2,7 juta ton. Dengan tambahan impor jagung sampai akhir November 2015 hampir 200.000 ton, realisasi sampai akhir November 2015 sebesar 2,9 juta ton. Kebutuhan jagung industri pakan per bulan 660.000 ton untuk Desember 2015 belum ada.
Terkait kebijakan harga referensi telur dan ayam, menurut Koordinator Forum Peternak Layer Nasional Musbar, rencana pemerintah menerapkan kebijakan harga referensi untuk komoditas telur dan daging ayam efektif meredam dumping. Tanpa dukungan buffer stock, harga acuan itu akan menaikkan posisi tawar peternak
impor jagung kebijakan impor perubahan kebijakan impor jagung