Jagung di samping sebagai pangan alternatif non beras, juga sebagai pakan ternak. Indonesia merupakan lumbung jagung dunia dan menempati peringkat ke-8 dengan kontribusi 2,06% terhadap produksi jagung dunia.
Sentra produksi jagung tersebar di 12 provinsi dan 45 kabupaten, terutama di Kabupaten Grobogan, Kendal, Lampung Tengah, Lampung Timur, Tuban, Malang, Kediri, Blitar, Garut, Karo, Gowa, Pinrang, Bima, Sumbawa, Gorontalo dan lainnya.
Berdasarkan data ARAM-I BPS tahun 2015, produksi jagung 20,67 juta ton atau naik 1,66 juta ton (8,72%) dibandingkan tahun 2014 dan merupakan produksi tertinggi selama lima tahun terakhir. Peningkatan produksi ini memberi nilai tambah ekonomi Rp5,3 triliun.
Data jagung di lapangan bulan Agustus 2015, menunjukan luas panen 304,5 ribu ha dan produksi 1,5 juta ton, bulan September luas panen 233,5 ribu ha dan produksi 1,59 juta ton, dan diperkirakan bulan Oktober produksi jagung 1,10 juta ton.
Setiap bulan terdapat panen dan produksi jagung bulanan di atas 1,0 juta ton. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketersediaan jagung dilihat dari produksi dan stok jagung lokal cukup.
Guna melihat neraca jagung, perlu dibandingkan antara kebutuhan dengan pasokannya. Angka prognosa neraca jagung surplus 813 ribu ton, diperoleh dari produksi 20,66 juta ton dikurangi kebutuhan untuk industri pakan ternak 8,25 juta ton, pakan ternak lokal 6,61 juta ton (hasil survey 32%), industri pangan 4,09 juta ton (19,8%), konsumsi rumah tangga 0,39 juta ton (Susenas: 1,56 kg/kap/tahun), benih dan lainnya tidak sampai 500 ribu ton.
Secara nasional, neraca jagung surplus, namun sentra produksi tersebar di banyak lokasi yang sebarannya berbeda dengan lokasi pabrik pakan ternak.
Untuk itu menjadi tugas industri pakan ternak, pedagang dan pelaku usaha lainya untuk mencari jagung lokal yang tersebar di sentra produksi, terutama pada bulan-bulan panen raya jagung yaitu Februari, Maret dan Juni.
Mengingat panen raya dan surplus jagung dalam jumlah besar terjadi hanya tiga bulan, industri dan pelaku usaha semestinya menyiapkan gudang-gudang penyimpanan.
Gudang penyimpanan dilengkapi dengan sarana pengering jagung (dryer), mengingat kadar air yang dibutuhkan oleh pabrik pakan sebesar 15%, sedangkan jagung petani mungkin kadar airnya lebih besar dari 15%.
Menurut Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) jika jagung lokal dapat segera dikeringkan, jagung lokal lebih baik dari jagung impor karena kadar protein jagung lokal lebih tinggi dan kadar aflatoksinnya lebih rendah.
Guna memenuhi jagung bahan baku pakan ternak, tahun 2014 dilakukan impor jagung total 3,29 juta ton senilai US$ 857 juta.
Pada tahun 2015 Pemerintah mengambil kebijakan pengendalian rekomendasi impor serta mendorong ekspor jagung dan telah berhasil ekspor terutama dari Sumbawa dan Gorontalo.
Kebijakan ini ditempuh dimaksudkan untuk mengoptimalkan penyerapan jagung lokal dan sejalan amanat bahwa impor merupakan alternatif terakhir.
Hasil dari kebijakan ini sejak Januari 2015 hingga kini telah menghemat devisa dari jagung sebesar US$ 585 juta atau setara Rp 7,6 triliun (asumsi kurs Rp 13.000/US$).
Pengendalian impor jagung juga berkontribusi dalam perekonomian, di mana harga jagung di petani terjadi peningkatan dari semula Rp.1.500/kg menjadi Rp 3.000/kg, sehingga petani menikmati surplus Rp. 31 triliun (20,66 juta ton x selisih harga Rp1.500/kg).
Kebijakan pengendalian impor tersebut telah berdampak nyata bagi petani dan bahkan telah dilakukan ekspor jagung.
Akankah kebijakan dihentikan dan dibuka kran impor untuk mengatasi gejolak harga jagung?
Adakah solusi yang lebih baik untuk mengatasi gejolak harga dan ruwetnya tata niaga jagung?
Gambaran mengenai industri pakan ternak dan potensi budidaya jagung berikut dapat dijadikan pertimbangan dalam mengatasi masalah dimaksud.
Industri pakan ternak saat ini tersebar di 10 provinsi dan terbanyak ada di Jawa Timur, Jawa Barat, Banten dan Sumatera Utara.
Industri pakan ternak di Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera Utara lebih banyak menggunakan pasokan dari jagung lokal berturut-turut 63,5%, 58,4%, 56,9% dan 52,6%.
Bahkan, industri pakan ternak di Sulawesi Selatan hampir 100% menggunakan jagung lokal. Kondisi ini ironis dibandingkan dengan industri pakan ternak di Jawa Barat dan Banten yang menggunakan jagung impor 72% dan 64% dari kebutuhannya.
Banten merupakan salah satu lokasi industri pakan ternak terbanyak, namun bukan merupakan sentra.
Mengingat hasil prognosa bahwa neraca jagung surplus, semestinya kebijakan pengendalian impor ini perlu dilanjutkan.
Selanjutnya guna memenuhi kebutuhan jagung pakan ternak, investor industri pakan ternak supaya berkontribusi investasi pada bisnis budidaya jagung skala luas (corn-estate) pada lahan-lahan potensial yang masih tersedia 500 ribu ha di Luar Jawa maupun integrasi atau tumpangsari jagung di lahan Perhutani dengan seluas 265 ribu ha.
Industri pakan ternak diminta bekerja keras memproduksi jagungsendiri dan tidak mengandalkan jagung impor, mengingat potensi lahan dan sumber daya sangat tersedia. Ini merupakan solusi permanen dalam rangka pemenuhan kebutuhan pakan ternak.
Guna merealisakan solusi permanen jangka panjang ini, Pemerintah telah menyiapkan lahan dengan berbagai kebijakan insentif dan deregulasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, dan Kementerian Pertanian mengawal khusus kegiatan investasi jagung, sapi, tebu dan lainnya.
Pemerintah juga telah menyiapkan lahan seluas 2,2 juta hektar untuk investasi tersebut, terdiri dari (1) lahan hutan 700 ribu ha untuk investasi perluasan tebu pada 15 Pabrik Gula (PG) existing dan 19 investor PG baru; (2) lahan 1,0 juta ha untuk sentra pembibitan dan penggemukan sapi bagi 9 investor; dan (3) lahan hutan 500 ribu ha serta lahan Perhutani 265 ribu ha untuk pengembangan jagung bagi empat investor yang diintegrasikan dengan industri pakan ternak.
Saat ini masih terbuka luas bagi investor lain untuk membuka lahan dan mengembangkan bisnis di sektor pertanian.
Berbagai kemudahan yang diberikan Pemerintah untuk mendorong investasi jagung, sapi dan tebu antara lain:
(1) Deregulasi/merevisi PP No.33/2014: PNBP Hutan untuk penggunaan di luar Kepentingan Kehutanan, agar tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tidak membebani usaha tebu, jagung dan sapi yang berlokasi di areal hutan, saat ini mahal sewa lahan/pinjam pakai hutan produksi Rp 1 juta/ha/tahun.
(2) merevisi PP No.11/2010: Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, sehingga HGU yang tidak aktif (atau ditelantarkan pemilik HGU), untuk dicabut ijinnya dan dikasihkan ke investor baru).
(3) merevisi PP No.60/2012: Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, sehingga kawasan hutan dapat diperuntukan/digunakan untuk kegiatan pertanian tertentu.
(4) merevisi PP No. 72/2010: Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Indonesia, sehingga kawasan hutan yg tidak berhutan di Perhutani dapat dapat digunakan untuk pertanian tertentu.
(5) memberikan kredit jangka panjang, bunga khusus; tax allowance (untuk usaha integrasi sawit-sapi agar diberi keringanan Pajak Ekspor, PPh Bahan Baku dll.
(6) Menurunkan bea masuk sapi indukan dari 5% menjaddi nol% dan biaya karantina Rp 2,5 juta/ekor ditanggung Pemerintah. (7) memberikan perlindungan dan jaminan keamanan lahan dan ternak (penyerobotan, pencurian).
(8) menyederhanakan persyaratan perijinan pendaftaran produk benih, pupuk, pestisida dan menerapkan perijinan satu pintu.
(9)debotlenecking dalam rekomendasi perijinan investasi.
(10) menyiapkan pulau karantina untuk sapi, serta (11) menyiapkan infrastruktur pendukungnya berupa jalan, irigasi, listrik, telekomunikasi, dan lainnya.
Kebijakan terkait investasi juga diberikan Pemerintah untuk pengembangan bisnis komoditas lainnya seperti: (1) mengefektifkan penggunaan bio-diesel berbahan baku CPO sehingga 2015 mencapai target 15 persen; (2) pembebasan PPN 10% pada industri Modified Cassava Flour (MOCAF); dan (3) menerbitkan PP tentang Pembiayaan Pertanian dan PP tentang Usaha Agrowisata sebagai tindaklanjut UU 23/2010 tentang Hortikultura.
Solusi jangka pendek terhadap gejolak harga dan benang kusut tata niaga jagung diatasi dengan kerjasama petani, Bulog dan pelaku usaha.
Pemerintah berperan intevensi pasar melalui Bulog dengan membeli jagung petani untuk memperpendek rantai niaga. Selanjutnya Bulog dapat menjual jagung langsung ke industri pakan ternak.
Mari kita bersama-sama mengatasi benang kusut tata niaga jagung. Mari kita menghargai jerih payah kerja petani dengan membeli produk yang dihasilkan
Impor pangan hanyalah akan menguntungkan negara lain, menciptakan ketergantungan, menyengsarakan petani, dan menyuburkan rent-seeker
Solusinya sudah sangat lengkap, jika melihat dari data tersebut seharusnya memang tahun ini tidak perlu lagi ada import, tingga bagaimana pemerintah dapat mengatur distribusi jagung nasional, seperti dari Gorontalo, Sumbawa dan Juga sebenarnya Sulawesi Selatan melakukan import cuma mungkin belum terekspos ini bisa dialihkan kedalam negeri sehingga ketersediaan jagung lokal untuk industri pakan bisa terpenuhi.
perlu kerjsama antara berbagai kementerian dalam mengatasi hal ini dan peran bulog sangat dibutuhkan, mungkin jika alokasi subsidi BBM di alihkan ke distribusi jagung nasional akan sangat berdampak terhadap kesejahteran petani.
Disadur dariTribunnews.com
angka produksi jagung impor jagung investasi jagung jagung ketahanan pangan produksi jagung regulasi permentan swasembada pangan